Friday, March 24, 2017

Tony

Beginilah Arsitektur Masjid Batak Toba: Masjid Syeikh Ibrahim Sitompul di Tapanuli Utara

 
Banyak Masjid Batak Toba di Tapanuli Utara dan daerah pemekarannya yang sudah berubah bentuk karena dipugar.

Ternyata beberapa masjid tersebut ada juga yang belum dipugar. Seperti Masjid Syeikh Ibrahim Sitompul di Tapanuli Utara.

Sebeprti diunggah dalam akun Facebook berikut:


Sunday, March 05, 2017

Tony

Sejarah Muslim di Dinasti Ming Menurut Ust. Ann Wang Seng

 

Seorang Ust dari warga Tionghoa mengatakan bahwa seorang Dinasti Ming di Tiongkok zaman dahulu merupakan seorang Muslim.

Ust Ann Wang Seng dari Malaysia ini mengkaji sejarah Tiongkok dalam berbagai ceramahnya.

Berikut ini kajiannya:

Tuesday, December 20, 2016

Tony

Bisnis Singkong di Porsea

 
Singkong atau ubi kayu sempat mengalami booming dengan banyaknya masyarakat yang berinvestasi dalam hitungan luas yang tidak sedikit. Tak terkecuali di Sumatera Utara (Sumut) yang disebut menempati rangking kelima setelah Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat.
Kini, petani singkong di Sumut meringis, karena tepung tapioka tak lagi laku di pasar ekspor. Petani pun buntung. Seperti yang dikatakan Ronistra Ginting, petani/pengusaha singkong bahwa saat ini petani singkong sedang letih, lemah, lesu dan letoy.

Pasalnya, sejak enam bulan yang lalu mengalami penurunan harga yang sangat drastis. Di mana harga ubi kayu sebelumnya berada di kisaran Rp 1.100 per kilogram (kg) menjadi Rp 650 per kg. parahnya lagi, harga ubi kayu turun lagi sejak dua minggu yang lalu dan menjadi Rp 600 per kg.

Menurutnya, penurunan harga ini terjadi karena berdasarkan informasi yang diterimanya di pabrik tepung tapioka bahwa saat ini tepung tak lagi laku sehingga tidak ada pengiriman ekspor.

Tiongkok, yang selama ini menjadi satu-satunya negara tujuan ekspor tepung tapioka dari Sumut sudah tidak lagi mengambil dari Indonesia. Mereka (Tiongkok), kata dia, sudah berinvestasi singkong di Vietnam.

"Mereka mungkin kerjasama untuk budidaya singkong. Investor Tiongkok memodalin petaninya. Imbasnya ke kita di sini. Ubi kita tak diminta lagi. Tak diterima lagi ubi kita," katanya kepada MedanBisnis, Jumat (2/12).

Dia mengaku, jika hanya mengandalkan dari singkong, dia sudah pasti kolaps. Dia menghitung, kalau dari harga pabrik Rp 600 per kg itu nanti akan dipotong biaya lain seperti potong tangkai 10% dan lain sebagainya, kemudian upah panen atau upah cabut Rp 100 - Rp 150 per kg.

Kemudian dihitung jarak, misalkan 50 km bisa 150 per kg. Apalagi kalau pabriknya di Porsea, Siantar, itu akan menelan ongkos 250 per kg. Dengan demikian, harga Rp 600 per kg sangat tidak menguntungkan bagi petani.
"Jadi misalkan tadi ongkos cabutnya 250 per kg, ongkos angkut 150 per kg, itu saja posisinya sudah Rp 400. Harga di pabrik Rp 600. Sisa Rp 200 untuk petani.

Kalau lahannya dekat dengan pabrik, bisa lah ongkosnya hanya Rp 50 - Rp 100 per kg. Tapi kan biasanya jarang sekali lahan ubi petani itu dekat dengan pabrikan. Kebanyakan lokasinya jauh jadi harus dilangsir ke pabrik dan itu juga butuh biaya," rinci Ronistra.

Lahan dia sendiri, tersebar di beberapa lokasi seperti di Tanah Karo, Porsea, Lumban Julu, Talun Kenas. Untuk ubi dari Talun Kenas hasil panennya dibawa ke Serdang Bedagai dan Tebingtinggi. Sedangkan dari daerah Porsea dibawa ke pabrik tepung tapioka yang berada di Siborong-borong.

Masalahnya menjadi sulit karena untuk pabrik yang berada di Siborong-borong, sudah tidak lagi menampung ubi dari luar lagi.

"Mereka hanya nampung ubi yang mereka tanam sendiri. Dari kebun singkong mereka. Terpaksa kita bawa ke Siantar. Susahnya lagi, kalau dua bulan lalu, pabrik tepung tapioka di Siantar masih lancar.

Sebulan terakhir, mereka sudah mengeluarkan kebijakan yang mana mereka hanya menerima ubi dua hari saja dalam seminggu. Padahal sebelumnya mereka buka setiap hari dan mau menerima ubi petani setiap harinya," katanya.

Belum lagi dengan masalah bahwa ubi tidak bisa disimpan dalam waktu yang lama. Apabila, umur ubi yang ditanam sudah cukup umur maka harus dipanen.

Namun untuk saat ini, singkong di lahannya yang berada di Sumbul, (2,5 hektare), Juhar (3,5 hektare), Talun Kenas (satu hektare), Siborong-borong sekitar (lima hektare) terpaksa belum dipanennya meskipun sudah berusia lebih dari satu tahun. Bahkan ada yang di dekat Siosar, lima hektare belum juga dipanen, padahal usianya sudah cukup tua.

"Jadi, kalau dipanen hasilnya akan melimpah. Mengingat, untuk ubi biasa saja bisa menghasilkan 30 - 40 ton per hektare. Sedangkan ubi yang ditanamnya bisa menghasilkan rata-rata 50 ton per hektare. Tapi, modal untuk bertanam dengan hasil jual panen saat ini tidaklah menguntungkan," jelas Ronistra.

Untuk ongkos produksi Ronistra mengatakan, penanaman dan perawatan membutuhkan kisaran antara Rp 12 juta - Rp 18 juta per hektare.

"Jadi kalau produksi hanya 10 ton, kita kalikan lah Rp 600 per kg kan cuma Rp 6 juta. Modalnya saja sudah Rp 12 juta, hasil panen Rp 6 juta. Kalau lah dipanen hasil yang diperoleh makin minus. Tetapi kenapa tak dipanen karena pabriknya tak lagi menampung," jelasnya.

Begitupun, kalau pabrik sudah mau menampung ubi, dia akan tetap memanen walaupun rugi. Karena kalaupun dibiarkan di lahan akan busuk juga. "Dapat Rp 200 per kg pun tak apalah. Daripada tak dapat apa-apa," katanya. (sumber)